Sejarah kerajaan-Kerajaan Di Pulau Alor
Menurut ceritra yang beredar di
masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui
di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur
pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang
Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan.
Munaseli mengirim lebah ke Abui sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke
Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli.
Konon, tengkorak raja Abui yang
memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru.
Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang
terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang
berpusat di Alor Besar. Munaseli dan Pandai yang bertetangga, pada akhirnya
juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan
kepada raja kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya telah kalah perang melawan
Abui.
Sekitar awal tahun 1300-an,
detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli, tetapi yang
mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli, sedangkan penduduknya
telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor. Para tentara Majapahit ini
akhirnya banyak yang memutuskan untuk menetap di Munaseli,
sehingga tidak heran jika saat ini banyak orang Munaseli yang bertampang Jawa.
Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatar belakangi
disebutnya Galiau (Pantar)
dalam buku Negara kartagama karya Empu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya
kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau
daerah-daerah pesisir pantai kepulauan.
Galiau yang
terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui dan Bunga Bali
di Alor serta Blagar, Pandai dan Baranua di Pantar.
Aliansi 5 kerajaan di pesisir pantai ini diyakini memiliki hubungan dekat
antara satu dengan lainnya. Bahkan raja-raja mereka mengaku memiliki leluhur
yang sama.
Pendiri ke 5 kerajaan daerah pantai tersebut adalah 5 Putra Mau Wolang dari
Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai. Yang tertua diantara mereka
memerintah daerah tersebut. Pada masa ini ada sebuah perjanjian yang
disepakati,dimana perjanjian itu dinamakan perjanjian Lisabon pada tahun 1851.
Berdasarkan catatan Antonio
Pigafetta, seorang ilmuwan dan penjelajah asal Venesia, pada 9 sampai 25
Januari 1522, pulau Alor-Pantar dikunjungi oleh kapal Victoria, yakni
sisa terakhir dari armada Magellan. Antonio menulis bahwa ketika sampai ke
Alor-Pantar, ia menemukan penduduk pulau ini buas seperti hewan dan makan
daging manusia. Mereka tidak mempunyai raja dan tidak berpakaian. Mereka hanya
memakai kulit kayu, kecuali kalau pergi ke medan perang.
Berdasarkan sejarah, pada masa
kekuasaan Portugis, Portugis di Alor hanya terbatas pada pengibaran bendera
pada beberapa daerah pesisir, seperti di Kui, Mataru, Batulolong, Kolana, dan
Blagar. Begitu pula pada masa awal pendudukan Belanda, hanya terbatas pada
pengakuan atas penguasa-penguasa yang berada di pesisir dan pada penempatan
seorang Posthouder di Alor Kecil, tepatnya di pintu teluk Kabola pada tahun
1861.
Dengan Perjanjian Lisabon pada tahun
1851, kepulauan Alor diserahkan kepada Belanda dan pulau Atauru
diserahkan kepada Portugis. Orang-orang Portugis sendiri sebenarnya tidak
pernah benar-benar menduduki Alor, walaupun masih ada sisa-sisa dari zaman
Portugis seperti sebuah jangkar besar di Alor Kecil.
Pada tahun 1911, Pemerintah
colonial Belanda memindahkan pelabuhan laut utama dan pusat Pemerintahan Alor
dari Alor Kecil ke Kalabahi. Kalabahi dipilih karena datarannya lebih luas dan
lautnya lebih teduh. Kota Kalabahi artinya pohon kusambi, yang mana dulunya
memang menghutani dataran ini. Dengan pemindahan pusat kekuasaan ke Kalabahi,
Pemerintah colonial Belanda menempatkan Mr. Bouman sebagai Kontroler pertama di
Alor. Sebelumnya tanda kehadiran colonial belanda di Alor, hanya terdiri dari
seorang penjaga pos dan seorang serdadu berpangkat letnan.
Pada masa kontroler Bouman, beberapa
pegawai pemerintah Belanda didatangkan. Upaya-upaya mengkristenkan para
penganut animismepun mulai dilakukan. Baptisan pertama dilakukan pada tahun
1908 di pantai Dulolong. Pada masa ini Alor terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui,
Batulolong, Kolana, Baranusa dan Alor. Kerajaan Alor wilayahnya meliputi
seluruh jasirah Kabola (bagian utara pulau Alor).
Pada tahun 1912 terjadi
pengalihan kekuasaan raja dari dinasti Tulimau di Alor Besar kepada dinasti
Nampira di Dulolong. Pemerintah colonial Belanda lebih cenderung memilih
Nampira Bukang menjadi raja Alor sebab beliau berpendidikan dan fasih berbahasa
belanda. Sebagai kompensasi, putra mahkota Tulimau ditunjuk sebagai kapitan
Lembur. Pengalihan kekuasaan ini menyebabkan terjadinya beberapa pemberontakan
namun dapat diredam dengan bantuan Belanda, sehingga sehingga secara tidak
langsung pengalihan kekuasaan ini telah menjadi bibit salah satu lembaran hitam
sejarah Alor dengan terbunuhnya Bala Nampira.
Di masa pendudukan Belanda di tahun 1910
-1916, Belanda banyak mendapat tantangan dari rakyat Alor-Pantar.
Kerajaan-kerajaan yang terkenal sering melakukan perlawanan adalah Kerajaan
Bunga Bali, Kerajaan Kui, Kerajaan Kolana, Kerajaan Pureman, Kerajaan Mataru,
Kerajaan Batulolong, Kerajaan Baranusa, Kerajaan Pandai, dan Kerajaan Blagar.
Namun, Belanda dengan devide et impera (Politik pecah belah atau politik adu
domba) dan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) akhirnya berhasil menaklukkan
para raja tersebut. Dari 9 kerajaan yang sering melakukan perlawanan, Belanda
akhirnya melakukan perampingan hingga tertinggal 4 kerajaan, yakni Kerajaan
Kui, Kerajaan Alor Pantar, Kerajaan Kolana, dan Kerajaan Batulolong. Dengan
demikian, Belanda semakin mudah melakukan pengawasan.
Tonton Video di sini
Demikian pembahasan kita kali ini
tentang Kerajaan-Kerajaan di Pulau Alor, jika ada ada yang kurang maka mohon
dimaafkan.
Syalom dan Tuhan memberkati kita
sekalian.
Komentar
Posting Komentar